Friday, December 12, 2008

Dengar Aku

Author: C. Cita, 2008

Kau tertidur lagi di sofa. Kacamata masih bertengger di hidungmu. Tas yang terjatuh di sampingmu menghamburkan isinya ke seluruh lantai. Tanganmu memeluk bantal kecil di sofa itu. Matahari sudah lama bersembunyi, digantikan bulan yang bersinar penuh percaya diri. Dahimu berkerut pelan, seperti sedang memikirkan sesuatu.
Aku duduk di lantai, di sampingmu. Lama rasanya kita tidak bersua, tidak berbicara. Hanya sekilas saja. Dalam sekejap, kau menghilang. Tanpa sempat aku tersenyum padamu, tanpa aku sempat memelukmu. Dan setiap detiknya, kau semakin menjauh dariku. Semakin tidak terlihat olehku.
Matamu bergerak pelan, mata di balik lensa-lensa kecil itu. Berkedut pelan. Sedang mimpi burukkah? Aku memainkan jariku di rambutmu, dan kau tampak tenang kembali. Rambutmu tetap seperti dulu, tebal dan bergelombang. Tidak lembut seperti sutra, tapi tidak juga kaku. Sebagaimana rambutmu yang kuingat. Napasmu terdengar berat, dan sesekali terdengar dengkuranmu.
Apa yang sebenarnya membuatmu makin menghilang? Diktat-diktat serta buku-buku yang menumpuk itukah? Atau para dosen dan teman-temanmu? Apa? Kau bahkan seperti makin tidak peduli pada sekitarmu. Aku bukannya tidak suka melihatmu aktif, tapi apakah demikian sulitnya kau masuk ke kamar adikmu dan bicara sedikit dengannya? Apa saja, ceritakan padanya. Kau pikir bagaimana rasanya, hanya bicara padamu setiap beberapa hari sekali, hanya beberapa potong kalimat, dan semuanya selesai? Tidakkah kau pikir dia kesepian, kehilangan seseorang yang selama bertahun-tahun menjadi teman sekamarnya, orang yang sering diikutinya, yang ia ingin dimanja olehnya?
Dia tidak suka sendirian. Bersama orang lain, bahkan dengan temannya pun dia sering bosan. Bersama ayah dan ibunya tidak pernah menarik, dan bersama adiknya pun tidak jauh berbeda. Bersama para sepupunya? Ah, entah kenapa dia tidak merasa senang. Tidak pernah sesenang jika ia bersamamu.
Adikmu itu terus mencarimu, berharap dirimu ingat saat dulu kau masih tidur berdampingan dengannya. Adikmu masih mencarimu, saat begitu mudah ia melihatmu di hadapannya. Saat begitu mudah ia berada di sampingmu tanpa menerima bentakan. Saat begitu mudah baginya untuk memelukmu dan berjalan di sampingmu.
Mungkin dia terlihat baik-baik saja, tapi dia tak bisa mengatakan pada siapapun dia bosan. Bosan pada segalanya. Dulu mungkin ia bisa bicara padamu, tapi ke mana kau sekarang? Menghilang dan menampakkan diri sesuka hatimu, susah ditemukan seperti bintang jatuh.
Aku mematikan lampu dan membiarkanmu terus tertidur lelap. Adikmu mungkin pemarah dan mudah bosan, mungkin juga dia manja dan egois. Atau mungkin dia anak kecil yang melankolis. Adikmu mungkin bukan apa yang diharapkan. Tapi bukan berarti dia tidak butuh tempat bersandar.
Kalau saja kau perhatikan, adikmu itu sendirian. Banyak teman di sekitarnya, hanya bicara material dan duniawi, tertawa bersama, tapi selintas lalu saja. Banyak orang di sekitarnya, tapi tidak, ia tidak pernah merasa menjadi bagian dari semuanya. Mungkin dia yang salah. Mungkin dunia yang salah. Entah. Dia hanya menjalani semuanya. Merancang dan membuat perkiraan, melakukan semuanya, melihat hasilnya dan mencoba menarik kesimpulan. Dan mengulanginya sampai bosan. Sakit jiwa, mungkin. Tapi dia tidak tahu apa lagi yang bisa ia lakukan. Dia mungkin tenggelam terlalu dalam di kesendirian, yang entah ia ciptakan atau tidak ia sendiri tidak tahu.
Mungkin adikmu tampak tidak peduli, tapi kau tetap orang nomor satu di hatinya.
Kakak kesayangannya.

---
This is the story I promised to Wida. The shortest one I have ever written.
Sedikit curhat, but whatever lah. Honestly, it's untitled until I posted it. lol
Padahal udah pernah gue post di multiply, lho.

Dedicated to every sisters and brothers in the world.
Dedicated to my beloved sisters, who I miss, and maybe missing me also-I wish! haha

I miss you both.

No comments: